Selasa, 17 November 2009

Pendidikan Agama dalam Keprihatinan



Dalam konstitusi, negara kita bukanlah negara agama, tapi diistilahkan dengan negara hukum atau rechstaat, sebaliknya bukan negara kekuasaan atau machstaat.

Tapi, bahwa agama menjadi tiang prioritas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat tak dapat dipungkiri. Meski dalam praktiknya jauh dari pedoman dan nilai-nilai agama secara ideal.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila menjadi barometer utama, dimana agama yang diakui secara resmi harus menjadi way of life bagi pemeluknya. Dalam cakupan yang lebih khusus lagi, dunia pendidikan merupakan media utama dalam mengejawantahkan sila pertama tadi secara lebih tersistem dan terarah.

Dari segi hukum, kelangsungan pendidikan keagamaan mendapat kedudukan yang cukup kuat. Namun demikian, ‘porsi’ yang diberikan oleh para pendidik di sekolah-sekolah, masih jauh dari harapan kita semua. Karena target jam tidak lebih dari dua jam dalam seminggu dari keseluruhan paket kurikulum yang harus diajarkan. Lebih kacau lagi, dalam praktiknya banyak pula siswa menengah terutama yang sengaja tidak masuk pada jam-jam pelajaran agama tersebut. Belum lagi materi yang diajarkan, jauh dari upaya mendukung peserta didik untuk bisa bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur. Yang umum terjadi, banyak anak didik baik masih dalam proses menuntut ilmu ataupun sudah menamatkan sekolahnya, bertingkah laku atau bersikap yang jauh sebagai sikap seorang yang beragama, Islam khususnya.


Ledakan-ledakan perkelahian antar sesama pelajar, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, berani dan melawan terhadap guru/orangtua dan lainnya,menjadi cermin belum berhasilnya pendidikan agama disekolah.

Kegagalan dalam dunia pendidikan, juga tak luput dari pengaruh hiburan yang ada, misalnya televisi, video, film, sinetron, bacaan-bacan yang tidak mendukung pendidikan agama. Semua itu sesungguhnya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik yang sadar atau tidak sadar pada gilirannya nanti akan mencetak sifat dan akhlak anak untuk berbuat yang tidak baik. Pendidikan agama yang diberikan, harus menyentuh aspek aqidah dan akhlak peserta didik.

Memang di dalam kurikulum pendidikan agama Islam sudah dibagi kedalam sub-sub pelajaran yang akan diajarkan, misalnya bidang Al-Quran, aqidah, akhlak, tarikh Islam, muamalah dan sebagainya. Tapi paling tidak bidang aqidah dan akhlak harus diprioritaskan. Isinya tentu lebih banyak bersifat nasehat yang menyentuh hati nurani, dari pada ilmu yang menyentuh akal pikiran. Mengasah otak memang penting, bahkan saking pentingnya banyak lembaga pendidikan yang mengadakan kompetisi atau lomba yang berorientasi pada kecerdasan akal. Tapi sayang sedikit sekali kita temukan lomba yang berorientasi pada kecerdasan hati dan spiritual. Padahal kecerdasan akal tidak otomatis membawa anak itu menjadi baik dan bermoral. Bahkan keberhasilan seseorang tidak dipengaruhi oleh kecerdasan intelektualnya, akan tetapi justru banyak ditentukan oleh kecerdasan emosi dan spiritual (kecerdasan hati dan agama). Maka tidak heran banyak anak yang tidak pandai, tapi ia sukses karena ia mempunyai kecerdasan hati dan berakhlak mulia.

Dewasa ini, pendidikan keagamaan sudah tidak lagi menjadi hal utama dalam proses belajar mengajar di sebuah institusi bernama sekolah umum, khususnya pendidikan agama Islam. Ditambah lagi dengan tidak dimasukkannya mata pelajaran pendidikan agama Islam dalam subjek Ujian Nasional.

Peserta didik akan lebih mengutamakan enam subjek Ujian Nasional dibandingkan mempelajari pendidikan agama Islam yang nantinya tidak mendukung angka-angka pencapaian standar kelulusan Ujian Nasional. Disini telah terjadi salah persepsi dengan Mata Pelajaran Agama Islam. Selama ini, di sekolah kita hanya mempelajari agama berdasarkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah untuk mencari angka dan nilai dalam waktu belajar 2 x 45 menit dalam satu minggu. Hal ini jelas melenceng dari tujuan utama belajar sebenarnya.

Dalam pendidikan di sekolah pada dasarnya semua guru terlibat dan bertanggung jawab dalam upaya membentuk sikap dan prilaku peserta didiknya menjadi baik, walaupun tidak mustahil selama ini guru agama yang dianggap paling berperan dan bertanggung jawab terhadap sikap dan prilaku anak didik di sekolah.

Persoalannya adalah bagaimana pendidikan agama di sekolah dapat menciptakan suasana yang dapat memotivasi anak untuk cinta terhadap materi agama dan juga menciptakan kebiasaan hidupnya sehari-hari dengan akhlak yang mulia. Kebiasaan yang baik yang dimulai dari sekolah akan menjadi kiat yang baik dalam mendidik akhlak si anak.

Misalnya, disekolah dibiasakan sholat berjamaah, membaca Al-Quran sebelum jam pelajaran dimulai, melakukan doa dan dzikir bersama setiap seminggu sekali, diadakan lomba-lomba keagamaan dan lainnya. Semua itu sesungguhnya dapat memotivasi anak untuk ikut andil dalam merubah pola pikir dari anti agama menjadi cinta agama.

Pendidikan kita dengan sekolah sebagai ujung tombaknya diharapkan mampu menumbuhkan manusia yang berkepribadian, sehingga dapat mengikis mentalitas masyarakat yang semakin terkontaminasi budaya luar. Untuk menumbuhkan kepribadian peserta didik dalam interaksi pembelajaran dibutuhkan peran signifikan guru dan optimalisasi budaya sekolah.

Peserta didik hendaknya diarahkan untuk menemukan jati dirinya dan kemampuan intelektual maupun bakat-bakat yang dimilikinya, jadi tidak sekedar menerima pelajaran. Setiap peserta didik harus dihargai karena dirinya sendiri bukan karena prestasi atau orangtuanya. Mereka juga harus diarahkan untuk bersikap aktif, memikirkan apa yang dipelajari, kritis serta dewasa dalam menilai masalah yang dihadapi.

Peserta didik juga perlu diajak mencermati problematika soial, politik, budaya, ekonomi dan hal-hal yang terjadi di kelas atau masyarakatnya agar tumbuh sikap dan perilaku sosial dan humanismenya. Dengan demikian, sistem pengajaran yang selama ini diterapkan perlu dievaluasi.

Mengingat anak sekarang lebih banyak menyerap input-input dari bermacam-macam informasi dan pengalaman yang berkembang. Sementara metode dan penyajian materi yang diberikan oleh guru-guru kadang-kadang monoton tidak bisa memotivasi anak dalam belajar.

Harapan kita bahwa pendidikan keagamaan harus kembali kita jadikan pelajaran primadona, untuk mencegah dari tindakan kriminal yang masih banyak dilakukan oleh siswa-siswa sekolah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar