Minggu, 20 Desember 2009

Hidayah di waktu Fajar


Suara azan Subuh menyayat-nyayat hati Yudi Mulyana, pendeta yang juga staf pengajar agama Kristen di sebuah sekolah dasar di Cirebon, pagi itu. Jantungnya berdegup kencang. Ia limbung dan roboh. "Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya pagi itu," ujarnya sambil menceritakan kejadian di pengujung Agustus 2008. Padahal, ia memang terbiasa bangun pagi, berbarengan Subuh. Melakukan doa pagi dan membaca Alkitab adalah aktivitas rutinnya membuka hari.Namun pagi itu, ia seolah lumpuh. Meski panik, ia mencoba tenang. Yudi membuat banyak asumsi untuk menghibur diri. Namun, tak satu pun mampu menolongnya.

Hatinya menjadi tenang setelah membuka saluran televisi menyaksikan acara zikir yang dipimpin oleh Ustaz Arifin Ilham. Ia berkomat-kamit mengikuti zikir yang dibacakan jamaah Arifin di layar televisi. "Tuhan, apa yang terjadi dengan diri saya", tuturnya. Kalimat Thayyibah menenteramkannya hingga ia bisa bangkit dan kembali berjalan.


Yudi mencari permakluman bahwa fisiknya terlalu capek. Kuliah S-2 Teologi di sebuah perguruan tinggi di Bandung, sementara dia tinggal di Cirebon, menyita perhatian dan energinya. "Besok juga sembuh," pikirnya kala itu.

Namun, kendati fisiknya sudah segar, ia kembali mengalami peristiwa yang sama keesokan harinya. Bahkan, setiap kali mendengar suara azan, tubuhnya bergetar. Di waktu lain, hatinya gelisah setiap kali menyentuh Alkitab.Pada pekan yang sama, ia menemui Ustaz Nudzom, putra ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Cirebon. Ia menceritakan pengalamannya. Komentar Nudzom saat itu, "Anda mendapat hidayah". Mendengar jawaban itu, hati Yudi berontak. "Tuhan, saya tak ingin menjadi Muslim," ujarnya.

Bersyahadat

Pengalaman di ujung fajar itu selalu menghantui pikiran Yudi. Ia makin merasa tak nyaman berada di gereja. Anehnya, hatinya menjadi adem saat melintas di depan masjid atau secara diam-diam masuk ke area masjid.Puncaknya, tanggal 7 Agustus 2008 saat sedang mengajar, ia mendengar suara azan seolah berkumandang di telinganya. "Timbul keinginan yang kuat dari dalam diri saya untuk membaca syahadat", ujarnya.

Ia segera menemui Dra Hj Sri Hayatun, kepala sekolah tempatnya mengajar. Sri keheranan dengan sikap Yudi. Di Cirebon, ia dikenal sebagai guru dan pendeta militan. Sepak terjangnya selama ini membuat ratusan Muslim sukses dimurtadkan (keluar dari Islam).Dia kemudian diantar ke Kantor Departemen Agama Kota Cirebon. Bahkan, salah seorang pejabat di kantor itu menyarankannya untuk pulang dan berpikir sungguh-sungguh. "Berpindah keyakinan bukan perkara main-main", kata pejabat Depag tersebut sebagaimana ditirukan Yudi.

Namun, tekadnya sudah bulat. Bahkan, telepon mamanya yang meminta Yudi untuk mengurungkan niatnya, diabaikannya. "Meski saya menjadi Muslim, saya tetap akan menjadi anak mama", jelasnya kepada perempuan yang melahirkannya di ujung telepon.
Maka siang itu, dibimbing oleh KH Mahfud, ia bersyahadat. Dan, berita pendeta menjadi Muslim segera tersebar ke seantero kota. Saat pulang, ia menjumpai rumahnya sudah kosong. Istrinya yang mendengar kabar itu segera mengungsikan diri dan anak-anaknya ke Indramayu. Surat cerai dilayangkan dua bulan kemudian.

Lima hal 


"Saya melakukan pencarian teologis setelah saya bersyahadat", kata Yudi. Ia memulai dengan pertanyaan, Apakah ajaran semua agama sama? Kalau sama, harus jelas di mana persamaannya dan pasti. Kalau ada yang berbeda, juga harus jelas perbedaannya.
Dari hasil penelusurannya, sedikitnya Yudi menemukan ada lima persamaan ajaran agama-agama besar, yaitu harus menyembah Tuhan; mengenal konsep dosa; hidup adalah mencari jalan ke surga; harus berbuat baik; dan ada kehidupan setelah kematian. Setelah diteliti lagi, kata dia, ternyata hanya temanya saja yang sama, tetapi ajaran dan konsepnya berbeda.

"Saya mulai bertanya, jadi Tuhan itu satu atau banyak?" ujarnya. Maka, ia mempersempit persoalan, hanya tentang konsep keesaan Tuhan dan soal pengampunan dosa. Ajaran Islam dan Kristen tentang kedua hal itu pun dipersandingkan.Dalam Kristen, Adam dan Hawa yang terusir dari surga meninggalkan dosa warisan bagi anak cucunya. "Berarti proses pengampunan Tuhan tidak tuntas", ujarnya. Padahal, Tuhan tentulah bukan pendendam seperti sifat makhluk-Nya.

Dalam Islam, ia menemukan hal yang beda. Manusia terlahir dalam kondisi fitrah. Dia menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.Ia juga dibuat terkagum-kagum dengan asmaul husna . "Tuhan itu satu, tapi Dia mempunyai 99 nama yang melambangkan sifat-Nya", ujarnya.'Perilaku Tuhan' dalam Islam, kata dia, melambangkan nama-nama itu. "Kenapa Allah menghukum, karena dia mempunyai sifat Adil. Namun, Dia juga pemaaf Ghafurjuga rahman dan rahim", tambahnya.Ia makin yakin dengan pilihannya. "Hanya Islam yang konsep ketuhanannya bisa dipahami secara rasional", ujarnya.


Giat berdakwah

Kini, hari-hari Yudi Mulyana diwarnai dengan berbagai kesibukan dakwah. Dia memberi testimoni dalam dakwahnya ke berbagai kota di Indonesia. Saat Republika menemuinya di Jakarta, Yudi baru beberapa hari pulang umrah. Sebelumnya, ia selama seminggu berada di Provinsi Riau."Saya ingin menebus dosa-dosa saya telah memurtadkan sekian banyak orang dengan menjadi pendakwah". ujarnya. Ia menyebarkan pesan-pesan Islam kepada siapa saja yang ditemuinya. "Saya selalu bilang, Anda semua beruntung menjadi Muslim sejak awal. Islam itu agama agung yang ajarannya sangat masuk akal". Dia mencontohkan dirinya, yang harus kehilangan keluarga karena pilihannya menjadi Muslim. Bukan perkara mudah, karena selama lebih dari 10 tahun perkawinannya, tak pernah ada gejolak dalam rumah tangganya. "Kami keluarga yang hangat", ujarnya.

Yudi selalu berkaca-kaca kalau menceritakan anak-anaknya. Dia dan anak-anaknya kini dipisahkan. Meski kini dia telah memiliki keluarga baru. Ia menikah dengan seorang Muslimah asal Cirebon. Kerinduan pada buah hatinya tak pernah pupus. Ada satu mimpinya, Yudi ingin menjadi imam shalat bagi ketiga buah hatinya. ''Saya ingin sekali ketemu mereka dalam Islam", ujarnya terbata-bata.


Mengkristenkan Orang dalam 1,5 Jam

Yudi Mulyana termenung sejenak ketika ditanya orang Islam yang berhasil dimurtadkannya. "Sudah tak terhitung jumlahnya", jelasnya. Apalagi, mereka yang berhasil dimurtadkan itu biasanya juga aktif melakukan pemurtadan terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Sebelum menempuh pendidikan S-2, aku Yudi, metode yang dikembangkan untuk memurtadkan orang masih menggunakan metode konvensional. "Bersahabat, membantu, lalu diajak masuk Kristen. Itu cara yang sudah sangat kuno" ujarnya.

Fokus pada anak-anak

Ia dan rekan-rekannya kemudian mengembangkan sistem baru untuk menarik jamaah. Caranya adalah dengan 'masuk' ke alam pikiran orang yang bersangkutan, mengguncangkan keimanannya, dan mengajaknya kepada cahaya, agama baru yang dibawanya.
Secara khusus, Yudi mendalami dan mengembangkan teori untuk menarik remaja dan anak-anak berpindah keyakinan. Untuk anak SD, misalnya, ada metode yang disebutnya 'Buku Tanpa Kata'. Dalam buku itu, hanya ada lima warna yang menyimbolkan keyakinan. Sampai di satu titik, sang anak akan dibimbing pada satu warna yang merujuk pada agama yang ditawarkannya. Dan, hanya dalam waktu singkat, ia berhasil memurtadkan anak-anak itu. "Hanya dalam 1,5 jam saja, mereka sudah siap untuk meninggalkan agama lamanya", jelasnya.

Bersama komunitasnya, Yudi aktif mengembangkan metode-metode baru Kristenisasi. Motode ini lahir dari beragam praktik yang dilakukan di lapangan. "Secara berkala kami berkumpul untuk melakukan evaluasi". Demi mengemban misi 'menggarap' anak-anak pula, Yudi rela untuk menjadi pegawai negeri dan mengajar di sekolah dasar. "Sungguh, awalnya saya stres mengajar anak-anak. Biasanya saya mengajar mahasiswa dan para misionaris dewasa", tambahnya.

Namun, Yudi dinilai sukses mengemban misi itu. Anak-anak yang berhasil dimurtadkannya, disiapkan untuk menjadi misionaris kecil. Biasanya, begitu masuk kelas 4 SD, mereka diberi materi-materi dasar."Begitu mereka kelas 5 dan 6 SD, mereka mulai militan. Mereka sudah bisa menarik teman-teman sebayanya untuk pindah agama", jelasnya.

Ia saat itu meyakini, tugas menyebarkan agama bukan hanya tugas rohaniawan, tapi juga seluruh jamaah. "Jadi, yang awam pun harus dimobilisasi untuk menjadi penyebar agama", jelasnya. Dasar pemikirannya, kata Yudi, sederhana saja, yaitu bahwa seekor domba itu hanya akan lahir dari domba juga, bukan gajah atau yang lain. "Jadi, yang bisa mengajak seseorang kepada iman yang kami yakini saat itu, ya orang dari komunitas itu", katanya.

Maka, selain anak-anak SD, ia juga mengader tukang becak, buruh pabrik, hingga karyawan. "Merekalah yang nantinya akan menjadi penyeru di lingkungan mereka", tambahnya.Ia juga menemukan sendiri metode yang disebutnya 'aliran hidayah'. Intinya, setiap hari ia mewajibkan dirinya untuk bercerita tentang ajaran agamanya saat itu. Perkara orang yang diajak bercerita itu berpindah agama atau tidak, biarkan hidayah yang bicara. "Dalam satu hari, saya harus menyiarkan syalom minimal pada satu orang," ujarnya.

Setiap Muslim itu dai

Kini, setelah menjadi Muslim, metode yang ditemukannya itu pun digunakannya. Dalam sehari, minimal ia berdakwah pada satu orang. "Kata ajaran agama kita, sampaikan walau hanya satu ayat", ujarnya mengutip hadis Nabi SAW.Menurutnya, tak harus menjadi dai untuk bisa mendakwahkan Islam. Setiap Muslim, kata dia, bisa menjadi penyeru (dai). "Setiap Muslim adalah misionaris bagi agamanya", ujarnya.

Ia mengkritik lemahnya umat Islam dalam soal ini. Semestinya, setiap Muslim menjadi public relation bagi agamanya, karena sesungguhnya hanya Islam-lah agama yang konsep ketuhanannya bisa dipertanggungjawabkan, bahkan secara rasional. "Jangan hanya karena yang lain dan dengan alasan menegakkan toleransi, mereka justru mendangkalkan akidahnya sendiri", ujarnya. (sumber : mualaf.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar