Sabtu, 26 Desember 2009

Kekerasan Pelajar di Sekolah Salah Siapa?

Oleh Putra Batubara *)

Akhir-akhir ini kita disuguhkan tontonan menarik tentang pelajar di sekolah yang melakukan tindak kekerasan baik putra ataupun putri. Kemajuan teknologi menjadikan kasus perkasus bisa langsung di akses oleh media nasional seperti televisi dan adegan tersebut ditayangkan secara langsung. Yang menartik disini adalah kasus kekerasan ini biasa terungkap setelah tersiar kabar di media massa dan pihak sekolah baru “mengambil sikap” setelah kasus itu disiarkan oleh media massa.

Pertanyaanya kemudian, kemana fungsi dan tugas sekolah yang mendidik peserta didiknya itu? Kenapa hal-hal yang sebesar ini bisa tidak diketahui oleh pihak sekolah? Atau jangan – jangan pihak sekolah juga sudah tahu dan berusah untuk menutup-nutupinya. Terus kalau sudah seperti ini siapa yang harus disalahkan? guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, guru agama, wali siswanya atau mungkin OSIS dan Rohisnya (karena kejadian ini banyak terjadi di sekolah negeri). Biasanya perdebatan akan terjadi disekitar nama-nama diatas dan mereka akan saling menyalahkan.


Idealnya pendidikan itu dilaksanakan bukan karena paksaan, harus tulus dan ikhlas dari kemauan peserta didik tersebut. Beberapa contoh kekerasan yang ada di sekolah keinginan orang tua siswa agar anaknya sekolah di sekolah A karena terkesan elit dan favorit padahal anaknya tidak mau dan tidak berminat, atau guru dan kepala sekolah yang mengeluarkan kebijakan membuat pelajaran tambahan di sekolah plus kegiatan ekstrakulikuler yang bersifat wajib agar siswa di sekolahnya bisa lulus dengan predikat terbaik, menteri pendidikan nasional juga sama yaitu membuat kebijakan ujian secara nasional dan kelulusan di Ujian Nasional adalah harga mati tanpa melihat kearifan lokal yang ada, dan masih banyak lagi contoh kekerasan yang terjadi di sekolah (kekersan melalui kebijakan dan kekerasan pemaksaan suatu kehendak).

Menurut saya kekerasan yang terjadi sesama siswa di sekolah adalah akibat dari ”fenomena gunung es” atau puncak permsalahan kekerasan kebijakan di sekolah yang semuanya bermuara ke siswa. Jadi, sebenarnya mereka semua adalah korban bukan pelaku kekerasan.


Bagaimana Mental Kekerasan di Sekolah di Mulai?

1. Sebelum masuk sekolah biasanya siswa sudah ditanamkan seabrek peraturan sekolah yang harus ditaatinya, tidak boleh bertanya kenapa peraturan ini dibuat, siapa yang buat dan untuk siapa aja peraturan ini dibuat, siswa hanya boleh membaca peraturan dan menjalankannya misal peraturan yang mewajibkan siswa memakai dasi, dan topi lengkap saat upacara bendera hari senin, atau rambut siswa putra yang panjangnya tidak boleh lebih dari 10 cm, tidak boleh terlambat (apalagi bayar uang SPP dan buku, ini lebih lagi sangat tidak boleh terlambat)


2. Pertama sekali masuk ke sekolah, kakak-kakak yang ada di OSIS mengadakan kegiatan dengan nama masa orientasi siswa atau biasa disebut MOS. Disini kekerasan kedua terjadi, secara fisik dan verbal, anak baru tadi disuruh sesuatu yang tidak jelas maksud dan tujuannya, kadang disuruh melakukan hal-hal yang tidak lumrah, di sini mulai tertanam lagi di alam bawah sadar siswa baru tersebut bahwa hal ini sudah biasa karena selain dibiarkan oleh sekolah kegiatan ini terjadi secara turun temurun.

3. Kemudian setelah MOS selesai siswa masuk ke sekolah dan menjadi warga sekolah, saat terlambat masuk di sekolah dia harus melewati banyak pos dari mulai satpam sampai guru BK, di sini peraturan sekolah kembali dibacaan kepadanya sementara pihak-pihak yang mendakwa siswa tersebut tidak mau tau apa yang terjadi sehingga siswa itu terlambat. Di sini dia belajar bahwa alasan apapun tidak akan diterima, padahal pada minggu berikutnya giliran guru yang datang terlambat, dan guru tersebut diperbolehkan masuk ke kelas tanpa melewati pos-pos yang ada.

4. Kemudian dia masuk ke kelas, di kelas dia mendengarkan secara baik apa saja yang menjadi peraturan di internal kelas, dari mulai kebersihan yang sampai harus mengeluarkan uang sakunya karena kelasnya harus indah dengan tambahan gorden dan beberapa perangkat kelas seperti sapu, tong sampah, penghapus, taplak meja dan kalau perlu ditambah sedikit bunga pot di dalam ruangan. Di sini dia belajar malu kalau tidak ikut patungan dengan siswa sekelasnya, mungkin saja sisa uangnya saat itu tinggal untuk ongkos pulang.

5. Tiga hari kemudian saat dikelasnya sedang belajar asyik dengan seorang guru, datanglah seorang guru perempuan yang sangat ramah, dia membawa banyak buku yang di ikat dengan tali rapia, bersamanya ada bapak-bapak yang berpakaian rapi sedang memegang buku tulis tebal, sepertinya masih baru buku itu karena covernya yang masih mengkilap. Ibu guru yang ternyata adalah petugas koperasi itu mengatakan bahwa untuk menunjang pembelajaran siswa dibantu dengan buku pelajaran dengan merk tertentu dan harganya sangat miring plus dengan cicilan yang sangat gampang (bisa dicicill selama 1 tahun sampai sebelum kenaikan kelas). Kemudian dia bertanya bisa tidak bu kalau belinya diluar atau memakai buku kakak kelas? Sang guru dengan pedenya menjawab silahkan saja karena buku ini baru saja terbit dan belum ada di pasaran edisinya sangat terbatas, kemudian guru yang mengajar dikelas tadi menimpali bahwa minggu depan ada PR di halaman sekian dibuku baru yang kalain terima. Terpojokkanlah si siswa tadi karena mau tidak mau harus membeli buku itu karena memang sangat perlu. Disini kekerasan kehendak, padahal siswa baru itu tahu kalau bapak ibunya tidak akan mampu membayar uang buku tersebut secara tunai, disini dia mulai setres padahal dia baru masuk ke sekolah itu dan baru mulai belajar selama 3 hari. Sekumpulan tanda tanya sudah banyak di kepalanya.

6. Masih banyak lagi kekerasan yang di lakukan senior seperti dalam ektrakulikuler tertentu yang punya adat terntu juga dan biasanya mereka menggunakan kekerasan fisik dan mental, alasanya sih agar mental anak baru tersebut kuat, aneh juga ya, seperti militer gitu deh.


7. Masih banyak kekerasan lainnya di kelas seperti guru yang mengatakan bahwa dirinya bodoh lah karena pelajaran yang di terangkannya tidak dapat langsung diserap dan masih banyak conoth lagi.


8. Akhirnya untuk menumpahkan segala kekesalannya dia membuat komunitas anak-anak setres yang semua kegiatannya untuk menghilangkan setres (tentunya menurut mereka sendiri) sampai akhirnya kekerasan antar kelompok di internal sekolah sampai dengan kekerasan antar sekolah dengan tawuran.

Solusinya?


Kekerasan tidak cocok di balas dengan kekerasan pula (malah akan memperparah), disinilah IPM berperan untuk melakukan penyadaran kepada siswa tersebut untuk kritis melihat ketidakadilan yang ada disekitarnya (melihat ketidakberesan disekitarnya) setelah disadarkan kemudian mereka dijadikan ”relawan” untuk membela teman sebayanya. Sampai akhirnya semua temannya sadar dan seluruh warga sekolah sadar dengan semua kelakuan mereka yang tidak adil dan suka melakukan kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung.

IPM sudah saatnya masuk ke sekolah negeri.......


*) Mantan kandidat ketua OSIS yang mengundurkan diri karena lebih memilih menjadi Ketua Rohis (Badan Tadzkir)  Ibnu Sina SMA Negeri 1 Lubukpakam Deli Serdang, Sumatera Utara. Saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Kajian dan Dakwah Islam (KDI) PP. Ikatan Pelajar Muhammadiyah.


Sumber: http://putralubukpakam.blogspot.com/2009/03/kekerasan-pelajar-di-sekolah-salah.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar