Jumat, 18 Desember 2009

Hijrah itu Semangat Untuk Mengubah diri


Oleh: Damanhuri Zuhri

Tahun Baru Hijriyah telah tiba. umat Muslim di seantero dunia akan memasuki dan merayakan 1 Muharram 1431 Hijriyah. Tahun baru Hijriyah begitu sarat makna dan nilai-nilai sejarah. Hijrah yang dimaknai sebagai permulaan tarikh Islam juga memiliki makna berkorban demi Allah SWT untuk tegaknya kebenaran.

Para ulama mengajak umat Islam untuk menjadikan Tahun Baru 1431 Hijriyah sebagai momentum untuk berhijrah, yakni memperbaiki diri dari hal-hal yang buruk menuju yang lebih baik. Pimpinan Pondok Pesantren Modern Lembah Arafah Bogor, Jawa Barat, KH Anwar Sanusi, mengungkapkan, ketika Nabi Muhammad SAW kembali dari Ta’if, langsung menuju rumah Allah dan merenung.

‘’Semula Rasulullah SAW ke Ta’if dengan harapan mereka akan menerima kebenaran. Ternyata orang Ta’if lebih kejam dari orang Makkah. Maka Nabi pulang berdoa di Ka'bah begini, ''mata nasrullah (Kapan pertolongan Allah?),’’ ungkap Kiai Sanusi. Waktu Nabi sedang menangis, datang sekelompok pemimpin Yatsrib.
Mereka adalah pemimpin agama Yahudi dan Nasrani dan menyatakan dalam perjanjian lama dan baru, akan datang seorang Rasul di akhir zaman yang sifat-sifatnya siddiq , tabligh , amanah , fathanah . Menurut para pemimpin agama Yahudi dan Nasrani itu, orang yang paling memenuhi syarat tadi adalah Muhammad.

'Islamkan kami, ya, Muhammad,'' kata pemimpin Yahudi dan Nasrani seperti dikisahkan Kiai Sanusi. Mereka mengatakan bahwa Makkah dengan budaya yang kotor bukan tempat subur untuk mendakwahkan Islam. Akhirnya Nabi SAW diminta hijrah ke Madinah. Awalnya, Rasulullah SAW menolak permintaan itu.

Rasulullah SAW akhirnya menerima tawaran mereka untuk hijrah ke Yatsrib (sekarang Madinah), dengan enam syarat. Keenam syarat itu merupakan prinsip-prinsip masyarakat Madani. Pertama, La yusyrik, yakni tidak menganut sistem ketuhanan yang lebih dari satu.

Para pemimpin Yatsrib pun kaget mendengarnya. Rasulullah SAW sudah berdarah-darah, tapi begitu diajak berhijrah, beliau masih mengajukan syarat. ''Pemimpin sekarang, bukan begitu, yang diminta jabatan, uang, fasilitas dan sebagainya,'' ujar Kiai Sanusi. Mengapa Rasulullah SAW memilih syarat jangan ada syirik? Menurut Kiai Anwar, masyarakat yang keyakinannya kepada Tuhan tipis, tidak bisa membangun negara secara kokoh.

‘’Nah, Indonesia sekarang sedang mempertontonkan itu semua. Pemimpin-pemimpin kita begitu sekarang. Akhirnya kita hidup di sebuah negara yang panglimanya hukum tapi masyarakat merasa kita hidup di belantara yang tidak jelas, hukum apa yang dipakai. Karena kita bertuhan tidak betul,'' ujarnya menegaskan.

Syarat kedua yang diajukan Nabi SAW, La yusriq , jangan mencuri dan jangan serakah. Apa pasal? Menurut dia, sebuah negara yang pemimpinnya orang-orang yang serakah, maka kebaikan tidak mungkin tegak. Kalau sudah serakah, halal-haram menjadi tak jelas, benar-salah diperjualbelikan, serta korupsi, manipulasi dan penyelundupan akan merajalela.

Syarat ketiga, wala yazni , tidak boleh zina. Itu soal moralitas. Menurut Kiai Sanusi, manusia kalau sudah berbuat zina, semua dosa dianggap kecil. Jadi, pemimpin-pemimpin harus punya akhlak. ''Mohon maaf, sekarang bisnis tidak meriah kalau tidak ada zina. Jadi, ke mana konsep negara yang mau diridhai Allah?''

Keempat, walaa yaqtuluuna auladahum , tidak boleh membunuh anak-anak. Kesehatan generasi pelanjut, tutur Kiai Anwar, harus dijaga. Mulai dari pendidikannya. Masa depan mereka juga tak boleh dihancurkan, sehingga hutan dan sumber daya alam tak boleh dieksploitasi secara sembarangan.

''Sumber daya alam harus dijaga, bukan dihancurkan oleh keserakahan kita bila kita ingin mempersiapkan generasi yang baik di masa mendatang,'' papar Kiai Sanusi. Syarat kelima, wala ya'tina bibuhtanin, tidak ada saling fitnah.

Sebuah negara yang pemimpin dan rakyatnya sudah gemar memfitnah, kata seorang sahabat bernama Ibnu Abbas, akan terjadi tiga kejadian penting: datang azab dari atas, artinya dapat pemimpinnya yang zalim terus. Kedua, kejahatan dari bawah berupa pencurian, pemberontakan, saling mengambil harta dan ketiga azab dari tengah artinya pecahnya pemimpin-pemimpin elit.

Syarat keenam, wala ya'sina bima'ruf, jangan merasa diri paling benar. Kalangan ilmuwan, intelektual, baik sebagai pemimpin dan sebagai rakyat tak boleh merasa paling benar. ''Lalu siapa yang paling benar? Yang paling benar hasil musyawarah ( syura' ).'' Spririt keenam syarat hijrah itu hendaknya terus dihidupkan sepanjang masa, agar umat Islam kembali bisa menikmati kehidupan madani.

Ketika hijrah, yang pertama-tama dibangun Nabi adalah masjid. ‘’Jadi, tugas kita sekarang membangun masyarakat madani yang mengaplikasikan kepentingan ibadah-ibadah itu,’’ tutur Kiai Sanusi.

Umar bin Khattab, menurut Kiai Sanusi, mendasarkan tahun Hijriyah dari ruh perjuangan Rasulullah SAW. ''Jadi, Islam tidak mengkultuskan seseorang seperti tahun baru Masehi yang dikultuskan Yesus. Islam tidak mengkultuskan Muhammad SAW, tapi perjuangannya, ruh perjuangan yang digelorakan bukan orangnya,'' tegasnya.

Agar umat Islam bisa bangkit, dengan menghidupkan spirit Hijrah Rasulullah SAW. Ustaz Toto Tasmara, mengingatkan, hendaknya Hijrah tak hanya diperingati sebatas seremonial ritual saja, karena tidak ada tuntunannya. ''Tetapi menangkap spirit dari Hijrah itu yang paling penting. Dalam bahasa saya, Hijrah itu spirit of change , semangat untuk mengubah diri,’’ tutur Ustaz Toto. Selamat Tahun Baru 1431 Hijriyah. ed: heri ruslan.

Sumber: http://republika.co.id/koran/0/96641/Menghidupkan_Spirit_Hijrah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar